Diharuskan Pembayaran Pajak 11 Persen, Pedagang Pasar Induk Cibitung Memanas

Kabupaten Bekasi – Setelah dilakukan revitalisasi pada bulan Juni 2021 lalu, kondisi Pasar Induk Cibitung semakin tidak beraturan. Saat ini, suasana pasar kian memanas setelah adanya informasi pembayaran pajak penjualan 11 persen yang terapkan oleh pihak ketiga atau pengembang. Pasalnya, pedagang menolak membayar pajak tersebut, dengan alasan karena tidak tertuang di dalam Surat Perintah Kerja (SPK). Pedagang mengancam, akan melakukan aksi demo apabila itu tetap dipaksakan.

Pedagang Pasar Induk Cibitung, Rosmala mengatakan, dari awal tidak ada perjanjiauntuk membayar pajak 11 persen. Menurutnya, harga satu kios dengan ukuran 2×3 meter Rp 126 juta, itu sudah termasuk pajak dari pemerintah. Kecuali kata dia, dapet sertifikat, tidak apa-apa ada tambahan pajak juga, sementara ini hanya hak pakai.

“Kenapa enggak dibilangin dari awal. Tiba-tiba sekarang naik lagi, bagaimana pedagang enggak mau pada menderita. Jelas semua pedagang menolak,” ujarnya kepada Radar Bekasi, Senin (30/5/2022).

Dirinya menegaskan, apabila pembayaran pajak 11 persen tetap dipaksakan, akan ada demo besar-besaran kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi. Karena para pedagang tidak akan membayar. “Kalau kedepannya tetap diterapkan, pedagang tidak mau bayar, paling kita akan demo ke pemerintah, karena awalnya enggak ada informasi seperti itu. Kan aneh,” tukasnya.

Sementara itu, pedagang lainnya yang namanya enggak sebutkan. Dirinya menjelaskan, dari awal revitalisasi sampai sekarang, yang pertama penampungan pedagang sangat tidak layak, akibatnya ekonomi pedagang ngedrop.

Kemudian, sekarang ini hampir 30-40 persen pembangunan pasar, pedagang kesulitan membayar kios. Ditambah lagi dengan pajak 11 persen yang dipaksakan oleh pengembang, jelas itu semakin memberatkan para pedagang.

Dalam hal ini dirinya meminta, agar anggota DPRD dan Pemerintah Kabupaten Bekasi transparan mengenai pajak 11 persen itu. Artinya, benar apa tidak dari pemerintah. Karena tidak ada perjanjian seperti itu.

“Dari SPK, mulai dari Pemda ke pegembang, kemudian ke pedagang, itu tidak ada bayar pajak 11 persen. Saya meminta tolong kepada anggota DPRD dan Pemerintah Daerah, agar transparan pajak 11 persen ini benar apa tidak,” ungkapnya.

Dirinya membeberkan, pembayaran pajak 11 persen ini himbauan dari pengembang, bukan dari dinas atau pemerintah daerah. Artinya, tidak ada surat dari perpajakan maupun pemerintah daerah secara resmi.

“Belum ada surat edaran, cuma baru door to door mulai dari bulan kemarin. Banyak pedagang yang teriak, cuma mau teriaknya kemana, larinya kemana, pedagang bingung. Apakah ini dipaksakan oleh pengembang,” ucapnya.

Dirinya merinci, apabila dihitung pembayaran pajak 11 persen nominalnya sekitar Rp 13 juta lebih. Sementara kondisi kios yang lama sebanyak 1.800, ditambah kios baru 700. Totalnya sekitar 2.500 kios. Kemudian jumlah tersebut dikalih dengan pembayaran pajak 11 persen, yang nominalnya Rp 13 juta lebih. Tentu sangat luar biasa angkanya.

“Satu kios harganya Rp 126 juta, kios lama ukuran 2×3 meter. Kemudian dikali 11 persen, sekitar Rp 13 juta lebih. Kali berapa ribu kios. Kalau bisa pemerintah daerah turun ke bawah dan gagalkan pajak yang 11 persen,” jelasnya.

Terpisah, Anggota Komisi II DPRD Kabupaten Bekasi, Budiyanto menuturkan, dalam persoalan ini memang harus di cek dulu MoU perjanjian kerjasamanya seperti apa. Termasuk mekanisme penentuan harga. Dan harga di dalam perjanjian kerjasamanya seperti apa. Karena kemungkinan besar ini sudah diluar kesepakatan kontrak.

“Diduga proses pembangunan pasar Induk Cibitung ini sudah diluar kesepakatan – kesepakatan kontrak, di dalam perjanjian kerjasama antara pemerintah daerah yang disetujui oleh DPRD, dengan pihak ketiga sebagai pelaksana,” ucapnya.

Penambahan biaya sewa maupun beli dengan mencantumkan pajak 11 persen, ini sangat merugikan pedagang. Harusnya dari awal itu kalau memang termasuk dalam pajak atau tidak dalam pajak, harus clear dari awal. Kalau tidak dari awal berarti asumsinya include (termasuk). Dirinya menduga, ini permainan-permainan ditingkat pihak ketiga, bukan pemerintah.

“Dugaan saya ini permainan-permainan ditingkat pihak ketiga, bukan pemerintah,” tukasnya.

Selain itu, dirinya membeberkan, pembangunan pasar induk ini seperti membangun pasar desa. Kenapa, karena jalan yang sebelumnya 20 meter, dijadikan dibawah 10 meter. Kemudian yang 12 meter, menjadi enam meter. Sementara, yang namanya pasar induk itu pasti yang masuk mobil-mobil besar. Artinya, ini tidak sesuai.

“Ini mau jadi pasar induk, apa mau jadi pasar desa. Karena fasilitas yang dibuat di dalam pasat itu tidak sesuai dengan kaidah-kaidah pasar induk. Yang awal targetnya kurang lebih 350 kios, hari ini menjadi 700 kios,” tuturnya.

Oleh karena itu dirinya memastikan, dalam pembangunan pasar induk ini ada potensi penyalahgunaan wewenang. “Ini ada potensi penyalahgunaan wewenang oleh pihak ketiga, yang tidak menjalankan sesuai perjanjian kerjasama. Ini bisa masuk ranah pidana khusus, karena bisa ada hal-hal pelanggaran-pelanggaran peraturan perundang-undangan,” tukasnya.

Menyikapi itu, Penjabat Bupati Bekasi, Dani Ramdan, berjanji akan mengecek terlebih dulu persoalan yang terjadi di Pasar Induk Cibitung ini. Karena sampai saat ini dirinya belum mendapat laporan perihal itu. “Saya belum dapet laporan, saya cek dulu kadis perdagangan. Untuk mengetahui duduk persoalannya,” ucapnya(ml).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *